Senin, 28 November 2011

** Bagaimana Mencapai Kesadaran Ruhani **

Rien Marini

Oleh Satrio P. Motinggo

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka tentang (kehidupan) akhirat, mereka lalai! (al-Qur’an Surat Al-Rûm [30] ayat 7)



Ada satu aspek kehidupan yang kita kenal sebagai kehidupan sehari-hari yang mana kita sadar apa yang kita lakukan. Aspek ini biasa kita sebut kehidupan lahiriah. Sedang bagian lain dari kehidupan ini yang seringkali tidak kita sadari adalah kesadaran ruhani atau kesadaran batin.



Tanpa kesadaran ruhani, hidup seseorang seumpama tanpa memiliki sebuah kaki atau sebuah tangan atau sebuah mata atau juga sebuah telinga. Ini pun belum benar-benar mengilustrasikan gagasan tentang kesadaran ruhani. Karena kesadaran ruhani itu jauh lebih besar dan lebih mulia serta lebih kuat ketimbang kehidupan lahiriah. Kebanyakan manusia memberikan perhatian yang sedemikian besar pada kehidupan lahiriah.



Dari pagi hari sampai malam hari manusia hanyut di dalam kehidupan lahiriah seraya mengabaikan aspek kehidupan lainnya. Semua masalah yang ada padanya hanyalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan lahiriah, dan semua itu membuatnya sedemikian hanyut sehingga sangat sulit baginya untuk meluangkan waktunya sejenak demi merenungkan kesadaran ruhani.



Kerugian yang diperoleh dari ketidak sadaran kita akan kehidupan ruhani sangat jauh lebih besar ketimbang semua keuntungan yang kita peroleh lewat kesadaran akan kehidupan lahiriah itu sendiri. Karena sesungguhnya kehidupan ruhani membuat seseorang menjadi lebih kaya.



Semua kekayaan dan harta karun yang bumi tawarkan kepada manusia, hakikatnya justru sebuah ujian yang banyak orang terjebak di dalamnya. Betapa banyak kita jumpai orang-orang kaya yang sebenarnya adalah orang yang miskin spiritualnya dan sebaliknya banyak kita jumpai orang-orang yang hidup sederhana sedemikian kaya dan tinggi spiritualitasnya.



Sebenarnya semakin kaya seseorang, semakin terbatas ia dalam kehidupannya. Boleh kita katakan semakin tebal dinding pembatas antara dirinya dengan kesadaran ruhaninya. Sejatinya, kehidupan ruhani membuat seseorang menjadi kuat, sebaliknya, kehidupan lahiriah membuat seseorang menjadi lemah. Karena kehidupan lahiriah membatasi kesadaran dan wawasan seseorang dan keterbatasan inilah yang memperlemah gerak imajinasinya.



Kesadaran akan kehidupan ruhani membuat seseorang menjadi kuat (powerful), karena bagaimana pun sebenarnya kehidupan ruhani merupakan kesadaran akan kesempurnaan.



Betapapun tinggi tingkat intelektual dan terpelajarnya seseorang, pikirannya tidak akan pernah jelas, disebabkan pengetahuannya didasarkan hanya pada alasan-alasan yang ditanam dengan hal-hal lahiriah yang rentan untuk berubah dan kadaluarsa. Itulah mengapa, betapa pun bijaknya seseorang, kearifannya pun tetap memiliki keterbatasan.



Kesadaran ruhani membuat pikiran seseorang menjadi jelas, karena ia merupakan bagian dari wujudnya yang dapat dinamakan Ilahiah, esensi kehidupan, intelejensia murni. Kemanapun sorotan intelejensi murni ini dipancarkan, membuat segalanya menjadi jelas.



Penyerapan dalam kehidupan lahiriah tanpa serapan kehidupan ruhani membuat orang menjadi ‘buta’. Semua yang ia katakan, pikirkan berdasarkan pengalaman-pengalaman fisik semata. Di samping itu ia tidak dapat menyadari betapa kekuatan yang diperoleh melalui kesadaran ruhani memampukan seseorang untuk melihat tembus kehidupan kasat mata ini.



Mungkin Anda pernah mendengar sebuah kepercayaan tentang mata ketiga. Di dalam realitasnya mata ketiga adalah mata batin, mata yang terbuka oleh kesadaran akan kehidupan ruhani.



Kita dapat melihat hutan dimana hujan yang berasal dari atas-lah yang membuat hutan itu menjadi rindang rimbun dan indah. Dengan kata lain, sesungguhnya hutan itu sendiri tidak memiliki apa yang ia butuhkan. Hutan memperoleh sebagian besar yang ia butuhkan dari atas, yaitu Cahaya dan Hujan. Matahari dan hujanlah yang membuat hutan itu menjadi sempurna.



Karena di gurun tidak ada hujan, maka dikatakan ia tidak sempurna, atau tidak seindah hutan yang lebat. Memang ada bumi di gurun, tetapi kita hampir tidak menjumpai air, baik dari bawah mau pun dari atas. Air yang memberikan kehidupan kepada hutan tidak ditemukan di gurun.



Gurun tidak bahagia, manusia di gurun juga tidak bahagia, mereka mesti mencari naungan dari panas matahari. Gurun rindu, manusia juga rindu kepada sesuatu yang tidak ia temukan di sana. Sebaliknya, dalam hutan yang lebat ada kenikmatan, ada inspirasi, hati menjadi terangkat ke atas karena hutan merupakan gambaran dari kehidupan ruhani – bukan tanah, bukan pepohonan dan tanaman.



Hal ini karena sesuatu yang dibutuhkan hutan diturunkan kepadanya. Dan karenanya, manusia yang disibukkan oleh hal-hal duniawi semata memang berada di tengah dunia, tetapi sejatinya ia berada di gurun tandus.



Kesadaran ruhanilah yang memberikan sesuatu kepadanya, sesuatu yang bukan kebajikan-kebajikan artifisial atau tipuan serta kwalitas-kwalitas buatan manusia, tetapi kebajikan yang hanya berasal dari kehidupan ruhani, dan juga wawasan yang membuat pandangannya mampu melihat melampaui kedua bola matanya.



Yang mungkin ditanyakan oleh kita maupun manusia lainnya adalah bagaimana kita dapat meyakini adanya kehidupan ruhani? Dan apa buktinya?



Jawabannya adalah bahwa tidak sedetik pun di dalam hidup kita ini tidak kita lihat bukti kehidupan ruhani. Bukti-bukti itu tersebar di setiap kita menghadapkan pandangan kita. Kita tidak perlu mencarinya.



Mungkin semua alat komunikasi seperti telepon, radio, semua mesin dan temuan-temuan baru lainnya membuat manusia kagum pada apa yang telah diciptakan manusia. Namunj jika kita perhatikan dan sadari, semua temuan itu hanyalah bentuk tiruan dari tubuh manusia!



Sesungguhnya manusia adalah pusat kenikmatan, kebahagiaan, kedamaian, kekuatan, kehidupan, dan cahaya. Kita cenderung hanya menjelajahi diri orang lain dan berpikir bahwa penting untuk menganalisa segala sesuatu, dan menganalisa sifat manusia, yang biasa kita sebut sebagai psikologi.



Manusia selalu menganalisa siapa pun kecuali dirinya sendiri, padahal psikologi yang sesungguhnya adalah lebih dulu menganalisa diri sendiri, dan ketika kita menganalisa diri kita sendiri, barulah kita mampu menganalisa orang lain.



Jika manusia hanya mengetahui selain yang ia katakan, ia fikirkan, ia kerjakan serta berbagai efek yang termanifestasi dalam dirinya, maka ada jenis tindakan lainnya yang juga menciptakan berbagai hal dalam kehidupan seseorang dan yang membuat dunianya!



Mungkin dalam seminggu, sebulan, atau setahun, atau sepuluh tahun, hari yang ia ciptakan datang ke hadapannya sebagai sebuah dunia, itulah dunia yang ia ciptakan.



Secara kasat mata, manusia begitu remehnya, tidak lebih dari setetes air dibanding samudera yang luas, namun manusia dapat mempengaruhi setiap pemikiran, setiap perasaan dan setiap perbuatan alam sekitarnya. Ia mampu mempengaruhi kehidupan orang lain!



Jika manusia dapat menyadari hal ini, ia akan menemukan bahwa akibat dari semua yang ia katakan atau ia kerjakan dalam kehidupan lahiriah, sangat jauh lebih kecil ketimbang akibat-akibat yang dihasilkan dari semua yang manusia katakan, pikirkan atau kerjakan dalam kehidupan ruhani.



Oleh karena itu kesadaran ruhani membuat seseorang lebih bertanggungjawab. Tanggungjawab itu mungkin tampak begitu berat, tetapi ia menjadi tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan tanggungjawab yang orang miliki dalam kehidupan ruhani. Jika seseorang melihat apa yang ia ciptakan, tanggungjawabnya jauh lebih besar.



Ada pepatah dari Timur bahwa keledai kelihatannya jauh lebih bahagia ketimbang burung beo yang sangat cerdas. Kelihatannya manusia cukup senang dalam kehidupan lahiriah, karena tanggungjawabnya lebih sedikit, pandangannya kecil, horisonnya sangat terbatas dan ia melihat dunia sedemikian kecil.



Akan tetapi bila horisonnya terbuka, bila hatinya mampu menembus hijab yang menutupi alam fisik ini, maka ia akan dapat melihat yang apa yang ada di balik tirai. Jika ia telah dapat melihat semua yang tersembunyi di balik tirai, maka ia akan mengalami kehidupan yang jauh berbeda.



Mungkin hal ini bisa kita umpamakan dengan pandangan seseorang yang berada di puncak gunung. Pandangannya tentulah berbeda dengan pandangan orang yang berada di kaki gunung. Keduanya sama-sama manusia, sama-sama memiliki mata, akan tetapi horison mereka berbeda. Oleh karenanya, kesadaran ruhani merupakan perluasan horison dan perubahan dalam arah pandang.



Seorang Yogi besar berkata, ‘Untuk menyaksikan apa yang ada di hadapanmu, kamu harus menyaksikan terlebih dahulu yang ada di dalam dirimu.’



Ini berarti di dalam diri kita ini ada semacam cermin, cermin yang dapat disebut sebagai dunia ruhani. Di dalam cermin inilah semua yang ada di hadapannya tergambar.



Dua orang suami isteri dapat hidup bersama selama 25 tahun, 40 tahun atau bahkan 100 tahun, tetapi tetap saja masing-masing dari keduanya tidak memahami pasangannya. Hal ini karena kurangnya pemahaman akan kehidupan ruhani.



Pemahaman akan kehidupan ruhani memampukan seseorang untuk memahami orang lain dalam sesaat. Bila dikatakan dua belas murid Nabi Isa as mampu memahami bahasa semua bangsa, apakah pada saat itu mereka mempelajari tatabahasa semua bangsa? Tidak! Mereka memahami bahasa hati. Bahasa hati lebih nyaring ketimbang bahasa lisan. Jika telinga batin terbuka untuk mendengar bahasa apa pun, maka kata-kata lahiriah menjadi tidak lagi bermakna.



http://qitori.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar