Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari Al Maidani
“Cari yang haram saja susah apalagi cari yang halal!”
Ungkapan di atas seolah telah menjadi legalitas untuk mencari harta dengan cara-cara yang tak halal. Begitulah sebagian kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat. Khususnya, dalam urusan mencari rezeki, hanya sedikit yang mau peduli dengan rambu-rambu syari’at.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan perilaku semacam ini sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram”. [HR Bukhari].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”. [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Di dalam Al Qur’an, Allah marah terhadap orang-orang Yahudi, karena sifat mereka yang suka memakan harta haram. Allah berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, (lagi) banyak memakan yang haram”. [Al Maidah:42].
Al Qurthubi, dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa salah satu bentuk memakan yang haram adalah menerima suap.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua pertanyaan yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana membelanjakannya. Dalam hadits Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan”. [HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita dalam banyak hadits, urgensi mencari rezeki yang halal ini. Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda (artinya): Tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian kepadanya. Dan tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka, melainkan aku telah melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki kalian terhambat. Sesungguhnya, Malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati sanubariku, bahwa tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya terhambat, maka janganlah ia mencari rezki dengan berbuat maksiat, karena karunia Allah tidaklah di dapat dengan perbuatan maksiat. [HR Al Hakim dan selainnya].
Demikian pula hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda:
لاَ تَسْتَبْطِئُوْاالرِّزْقَ, فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ العَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ, فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ, أَخْذِ الحَلاَلِ وَ تَرْكِ الحَرَامِ
“Janganlah menganggap rezki kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezkinya. Carilah rezki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram”.[1]
Hadits-hadits di atas memerintahkan kita agar memeriksa setiap rezeki yang telah kita peroleh. Kita harus bersiap diri dengan dua pertanyaan, darimana harta itu diperoleh dan kemana dibelanjakan? Oleh karena itu, kita mesti mengambil yang halal dan menyingkirkan yang haram. Bahkan harta yang mengandung syubhat, hendaknya juga kita jauhi.
Dalam sebuah hadits dari An Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah menyatakan:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Diantara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia akan terjerumus kepada perkara haram”. [Muttafaqun 'alaihi].
Rasulullah Shalallalhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah mencontohkan prinsip penting tersebut secara langsung. Betapa ketatnya mereka dalam memperhatikan urusan rezeki ini. Mereka selalu memastikan dengan sungguh-sungguh, apakah rezeki yang mereka peroleh itu halal lagi baik, ataukah haram.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiayallahu ‘anhu diceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kurma di jalan. Maka Beliau bersabda:
لَوْلَا أَنْ تَكُونَ مِنْ صَدَقَةٍ لَأَكَلْتُهَا
“Andaikata saya tidak khawatir kurma itu dari harta sedekah, niscaya saya makan”. [Muttafaqun 'alaihi]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaiohi wa sallam bersabda:
إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي فَأَرْفَعُهَا لِآكُلَهَا ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً فَأُلْقِيهَا
“Saat aku pulang ke rumah, aku dapati sebutir kurma jatuh di atas tempat tidurku. Kemudian kurma itu kuambil untuk kumakan. Namun aku khawatir kurma itu adalah kurma sedekah (zakat), maka aku pun membuangnya.[2]
Masih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Al Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhum mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Cih, cih!” [3] yaitu mengeluarkan dan membuangnya. Kemudian Beliau berkata:
أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ
“Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?”. [4]
Diriwayatkan dari Abul Hauraa’, bahwa ia bertanya kepada Al Hasan Radhiyallahu ‘anhuma : “Adakah sesuatu yang engkau ingat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Al Hasan menjawab,”Aku masih ingat, (yaitu) ketika aku mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu aku masukkan ke dalam mulutku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kurma itu beserta saripatinya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Ada yang berkata: ‘Wahai, Rasulullah. Tidaklah mengapa kurma itu dimakan oleh bocah kecil ini?’ Rasulullah n berkata: ‘Sesungguhnya, keluarga Muhammad tidak halal memakan harta zakat’.”
Ini merupakan sikap wara’, menghindari sesuatu yang masih meragukan statusnya. Dan coba lihat, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendidik cucu Beliau, Al Hasan agar tidak memakan dari harta yang haram. Begitu pula para sahabat.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bercerita, bahwa Abu Bakar memiliki budak yang ditugaskan harus membawa bekal untuknya setiap hari. Dan Abu Bakar selalu makan dari bekal itu. Pada suatu hari, budak itu datang membawa makanan. Maka Abu Bakar menyantapnya. Kemudian budak itu bertanya: “Tahukah tuan, darimana makanan itu?” Abu Bakar balik bertanya,”Mengapa?” Budak itu berkata,”Pada masa jahiliyah dahulu, aku pernah berlagak menjadi dukun untuk mengobati seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan, hanya semata-mata untuk menipunya. Lalu ia bertemu lagi denganku dan memberiku makanan yang engkau makan itu,” Maka spontan Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulut dan mengorek-ngoreknya sehingga memuntahkan semua isi perutnya”. [HR Bukhari].
Syariat juga memperhatikan hal-hal semacam ini, yaitu anjuran meninggalkan sesuatu yang masih diragukan status kehalalannya demi menjaga diri dari perkara haram.
Diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku:
إِذَا أَرْسَلْت كَلْبَكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ، فإنْ أمْسَكَ عَلَيْكَ فأَدْرَكْتَهُ حَيّاً فاذْبحهُ، وَإِنْ أَدْرَكْتهُ قَدْ قَتَلَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ فَكُلْهُ، وَإنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْباً غَيْرهُ وَقَد قَتَلَ فَلاَ تأكُلْ، فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي أَيُهُما قَتَلَهُ
“Apabila kamu lepaskan anjingmu, maka ucapkanlah bismillah. Jika ia menangkap seekor hewan buruan yang masih hidup untukmu, maka sembelihlah hewan tersebut. Apabila kamu dapati hewan itu sudah mati, sementara anjing itu tidak memakannya, maka silahkan makan. Tetapi apabila kamu dapati ada anjing lain yang ikut membunuh hewan buruan itu, maka jangan kamu makan, karena kamu tidak tahu anjing mana yang telah membunuh hewan tersebut”. [Muttafaqun 'alaihi].
Sebab, ada kemungkinan anjing lain yang ikut membunuh hewan tersebut tidak dilepas dengan mengucapkan bismillah sehingga tidak halal dimakan.
PRASYARAT MENCARI NAFKAH
Seseorang yang akan mencari nafkah, baik sebagai pedagang, pekerja upahan, pegawai atau profesi lainnya, hendaklah memperhatikan dua perkara penting berikut ini:
Pertama : Ilmu.
Berilmu sebelum berkata dan berbuat! Ini adalah prinsip yang sudah disepakati bersama. Namun dalam prakteknya, prinsip ini hanya tinggal prinsip. Berapa banyak orang-orang yang menganut prinsip ini, justru melanggarnya, apalagi orang-orang yang tidak mengetahuinya.
Demikian pula dalam masalah jual beli. Seseorang hendaklah memahami apa saja yang wajib dia ketahui berkaitan dengan amalan yang akan dia kerjakan.
Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah melarang para pedagang (pelaku pasar) yang tidak mengetahui hukum-hukum jual beli untuk memasuki pasar. Minimal, ia harus mengerti hal-hal penting yang wajib diketahuinya. Sebagai contoh, sebagai pedagang, ia harus mengetahui waktu-waktu larangan untuk berjual beli. Misalnya, pada waktu akan ditunaikan shalat Jum’at. Dasarnya ialah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. [Al Jumu’ah: 9].
Demikian pula, ia mesti tahu tempat-tempat larangan untuk berjual beli, masjid misalnya. Dasarnya ialah hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm melarang berjual beli di dalam masjid. [HR Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah].
Seorang pedagang juga harus tahu barang apa saja yang dilarang diperjual-belikan. Misalnya, minuman keras, bangkai, anjing, babi dan lainnya. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan mengharamkan hasil jual beli khamr, mengharamkan bangkai dan hasil jual beli bangkai, dan mengharamkan babi serta mengharamkan hasil jual beli babi”. [5]
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَمَنُ الخَمْرِ حَرَامٌ, وَمَهْرُ البَغْيِ حَرَامٌ, وَثَمَنُ الكَلْبِ حَرَامٌ, وَ الكُوْبَةُ حَرَامٌ, وَإِنْ أَتَاكَ صَاحِبُ الكَلْبِ يَلْتَمِسُ ثَمَنَهُ فَأَمْلَأ يَدَيْهِ تُرَابًا وَ الخَمْرُ وَ المَيْسِرُ وَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Hasil penjualan khamr haram, hasil melacur haram, hasil penjualan anjing haram, main dadu haram. Apabila pemilik anjing datang kepadamu meminta hasil penjualan anjingnya, maka sesungguhnya ia telah memenuhi kedua tangannya dengan tanah. Khamr, judi dan setiap minuman yang memabukkan adalah haram”.[6]
Seorang pedagang juga dilarang berlaku curang dalam timbangan dan takaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ {1} الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ {2} وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. [Muthaffifiin:1-3].
Semua itu hanya dapat diketahui dengan ilmu. Dan masih banyak lagi perkara lain yang berkaitan dengan larangan-larangan dalam jual beli yang harus diketahui seorang pedagang, baik menyangkut waktu, tempat, barang, etika dan tata caranya.
Sebagai pegawai, seseorang juga harus mengetahui apa saja yang dilarang berkaitan dengan pekerjaannya. Misalnya, seorang pegawai dilarang mengambil hadiah saat tugas atau dinas, karena hal itu termasuk ghulul (komisi) yang diharamkan. Diriwayatkan dari Abu Humaid As Saa’idi Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah berkata:
هَدَايَا العُمَّال غُلُوْلٌ
“Hadiah bagi para amil (pegawai) termasuk ghulul! [7] [Hadits shahih. Telah dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaani dalam Irwaaul Ghalil 2622].
Tentu saja, bila seseorang tidak mengetahui hal-hal tersebut ia bisa terjatuh ke dalam perkara haram.
Kedua : Takwa.
Takwa adalah sebaik-baik bekal. Pedagang, pegawai atau apapun profesinya harus memiliki bekal takwa. Secara umum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dan mengancam para pedagang dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
التُّجَّارُ هُمُ الفُجَّارُ
“Para pedagang itu kebanyakannya orang-orang fajir”. [8]
Pedagang yang fajir, yaitu pedagang yang tidak mengindahkan rambu-rambu syariat. Sehingga ia jatuh ke dalam larangan-larangan, seperti bersumpah palsu untuk melariskan dagangan, menipu, khianat, curang dan lain-lain.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm memuji pedagang yang jujur lagi bertakwa. Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur lagi terpercaya akan bersama para nabi, kaum shiddiq dan para syuhada”. [HR At Tirmidzi, Al Hakim, dan Ad Darimi.
JADI, KEJUJURAN DAN AMANAH MERUPAKAN BUAH DARI TAKWA
Demikian pula pegawai, harus berbekal takwa. Maraknya kasus-kasus korupsi, suap-menyuap, kecurangan, merupakan akibat hilangnya ketakwaan. Sehingga membuat seseorang menjadi gelap mata saat melihat gemerlap dunia.
Sebagian orang ada yang berprinsip, carilah harta sebanyak-banyaknya meski dengan cara-cara yang haram, seperti korupsi, suap, penipuan, kecurangan dan lainnya. Nanti setelah terkumpul harta yang banyak, baru berbuat baik, bersedekah dan lain sebagainya. Prinsip dan anggapan seperti ini jelas salah. Sebab Allah Maha Baik dan tidak menerima, kecuali yang baik-baik.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَ كَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
"Barangsiapa mengumpulkan harta haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak memperoleh pahala darinya dan dosanya terbebankan pada dirinya".[9]
Sedekah dan kebaikannya itu tidak bernilai sedikit pun di sisi Allah. Dia tetap terbebani dosa karena telah mengumpulkan harta melalui cara yang haram. Jadi, anggapan seperti di atas jelas keliru.
Demikianlah dua perkara penting yang harus dimiliki, yaitu ilmu dan ketakwaan. Jadilah pedagang atau pegawai yang berilmu dan bertakwa, sebab ilmu dan takwa itu merupakan kunci kesuksesan dalam mencari rezeki yang halal lagi baik.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (3239 dan 3241), Al Hakim (II/4), Al Baihaqi (V/264 dan 265), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (III/156-157) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir.
[2]. Hadits riwayat Al Bukhaari (2431) dan Muslim (1070), ada penyerta lain dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
[3]. Kata-kata untuk menegur anak-anak dari kotoran. Maksudnya, buang dan keluarkanlah benda itu!
[4]. HR Bukhari (1491) dan Muslim (1069).
[5]. Hadits shahih, diriwayatkan Abu Dawud (3485) dan yang lainnya.
[6]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thabraani dalam Al Kabir (12601) secara lengkap. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (3482), Ahmad (I/274-278 dan 289-350) dan Ath Thayaalisi (2755) secara terpisah.
[7]. Ghulul, artinya mengambil harta yang bukan haknya secara khianat.
[8]. Dishahihkan oleh Al Albaani dalam Silsilah Ahaadiits Ash Shahihah, jilid pertama.
[9]. Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (3367) dari jalur Darraj Abu Samah dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah.
sumber artikel: almanhaj.or.id
Tampilkan postingan dengan label Rezeki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rezeki. Tampilkan semua postingan
Minggu, 08 Juli 2012
Bukti Bahwa Istighfar dan Taubat termasuk Kunci Rezeki
Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata :”Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain lagi berkata kepadanya, ‘Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!”.
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan :”Maka Ar-Rabi’ bin Shabih berkata kepadanya, ‘Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk ber-istighfar. [1]. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, ‘Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh.
“Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai”. [Nuh : 10-12] [2]
Allahu Akbar ! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar ! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang pandai ber-istighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Mahahidup dan terus menerus mengurus mahluk-Nya.
[2] Ayat Lain Adalah Firman Allah Yang Menceritakan Tentang Seruan Hud Alaihis Shalatu Was Sallam Kepada Kaumnya Agar Ber-istighfar.
“Artinya : Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. [Hud : 52]
Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan : “Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman.
“Artinya : Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu” [Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51]
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadan-keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do’a. Amin, whai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
[3] Ayat Lain Adalah firman Allah.
“Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat”. [Hud : 3]
Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya.
“Artinya : Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu”. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma adalah. ‘Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian’. [Zaadul Masiir, 4/75]
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan :”Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian”. [Tafsir Al-Qurthubi, 9/403. Lihat pula, Tafsir Ath-Thabari, 15/229-230, Tafsir Al-Baghawi. 4/373, Fathul Qadir, 2/695 dan Tafsir Al-Qasimi, 9/63]
Dan janji Tuhan Yang Mahamulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata :”Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan”.[Adhwa'ul Bayan, 3/9]
[4] Dalil Lain Bahwa Istighfar Dan Taubat Adalah Diantara Kunci-Kunci Rizki
Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah[3] niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka[4]“.
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.
Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada!, sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.
[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Dr. Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 7-18 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc]
________
Fote Note
[1]. [Tafsir Al-Khazin, 7/154. Lihat pula, Ruhul Ma'ani, 29/73]
[2]. [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302-303. Lihat pula Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123]
[3]. “Barangsiapa menetapi – dalam riwayat lain – tidak meninggalkan istighfar”. Lihat, Sunan Abi Daud, 4/267, Sunan Ibni Majah, 2/339. Dan maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi yaitu saat terjadinya maksiat atau adanya ujian atau ada orang yang penyakitnya terus menerus, maka sungguh dalam setiap nafas ia membutuhkan kepadanya (istighfar dan taubat). Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak”. (Hadist Riwayat Ibnu majah dengan sanad hasan shahih). [Aunul Ma'bud, 4/267]
[4] Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi miliknya ; Sunan Abi Daud, Abwabu Qiyamil Lail, Tafri’u Abwabil Witr, Bab Fil Istighfar, no. 1515, 4/267 ; Kitabus Sunan Al-Kubra, Kitabu Amalil Yaumi wal Lalilah, no 10290/2,6/118 ; Sunan Ibni Majah, Abwabul Adab, Bab Al-Istighfar, no. 3864, 2/339 ; Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitabut Taubah wal Inabah, 4/292. Sebagian ahli hadits menyatakan hadits ini dha’if karena salah satu periwayatnya (cacat). (Lihat, At-Talkhish, Al-Hafizd Adz-Dzahabi, 4/262 ; Aunul Ma’bud, 4/267 ; Dha’ifu Sunan Abi Daud, Syaikh Al-Albani, hal. 149) Tetapi sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : “Sanad hadits ini shahih” (Hamisy Al-Musnad, 4/55). Demikian sebagai jawaban atas apa yang dikatakan tentang salah seorang perawinya. Wallahu a’lam bish shawab.
sumber : almanhaj.or.id
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata :”Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain lagi berkata kepadanya, ‘Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!”.
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan :”Maka Ar-Rabi’ bin Shabih berkata kepadanya, ‘Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk ber-istighfar. [1]. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, ‘Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh.
“Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai”. [Nuh : 10-12] [2]
Allahu Akbar ! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar ! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang pandai ber-istighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Mahahidup dan terus menerus mengurus mahluk-Nya.
[2] Ayat Lain Adalah Firman Allah Yang Menceritakan Tentang Seruan Hud Alaihis Shalatu Was Sallam Kepada Kaumnya Agar Ber-istighfar.
“Artinya : Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. [Hud : 52]
Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan : “Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman.
“Artinya : Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu” [Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51]
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadan-keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do’a. Amin, whai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
[3] Ayat Lain Adalah firman Allah.
“Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat”. [Hud : 3]
Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya.
“Artinya : Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu”. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma adalah. ‘Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian’. [Zaadul Masiir, 4/75]
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan :”Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian”. [Tafsir Al-Qurthubi, 9/403. Lihat pula, Tafsir Ath-Thabari, 15/229-230, Tafsir Al-Baghawi. 4/373, Fathul Qadir, 2/695 dan Tafsir Al-Qasimi, 9/63]
Dan janji Tuhan Yang Mahamulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata :”Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan”.[Adhwa'ul Bayan, 3/9]
[4] Dalil Lain Bahwa Istighfar Dan Taubat Adalah Diantara Kunci-Kunci Rizki
Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah[3] niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka[4]“.
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.
Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada!, sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.
[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Dr. Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 7-18 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc]
________
Fote Note
[1]. [Tafsir Al-Khazin, 7/154. Lihat pula, Ruhul Ma'ani, 29/73]
[2]. [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302-303. Lihat pula Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123]
[3]. “Barangsiapa menetapi – dalam riwayat lain – tidak meninggalkan istighfar”. Lihat, Sunan Abi Daud, 4/267, Sunan Ibni Majah, 2/339. Dan maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi yaitu saat terjadinya maksiat atau adanya ujian atau ada orang yang penyakitnya terus menerus, maka sungguh dalam setiap nafas ia membutuhkan kepadanya (istighfar dan taubat). Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak”. (Hadist Riwayat Ibnu majah dengan sanad hasan shahih). [Aunul Ma'bud, 4/267]
[4] Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi miliknya ; Sunan Abi Daud, Abwabu Qiyamil Lail, Tafri’u Abwabil Witr, Bab Fil Istighfar, no. 1515, 4/267 ; Kitabus Sunan Al-Kubra, Kitabu Amalil Yaumi wal Lalilah, no 10290/2,6/118 ; Sunan Ibni Majah, Abwabul Adab, Bab Al-Istighfar, no. 3864, 2/339 ; Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitabut Taubah wal Inabah, 4/292. Sebagian ahli hadits menyatakan hadits ini dha’if karena salah satu periwayatnya (cacat). (Lihat, At-Talkhish, Al-Hafizd Adz-Dzahabi, 4/262 ; Aunul Ma’bud, 4/267 ; Dha’ifu Sunan Abi Daud, Syaikh Al-Albani, hal. 149) Tetapi sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : “Sanad hadits ini shahih” (Hamisy Al-Musnad, 4/55). Demikian sebagai jawaban atas apa yang dikatakan tentang salah seorang perawinya. Wallahu a’lam bish shawab.
sumber : almanhaj.or.id
Senin, 23 Mei 2011
Takut Rejeki
Setiap muslim umumnya mengetahui dan menyadari bahwa yang memberi rezeki kepada setiap makhluk adalah Allah. Yang kurang adalah keyakinan akan adanya jaminan rezeki dari Allah. Kepada sang teman, akupun tidak ingin menasehatinya macam-macam, aku hanya berbagi pengalaman hidup dengannya. Bahwa ujian yang dialaminya juga dialami orang lain, termasuk aku dan suamiku.
Dahulu, belasan tahun yang lalu. Setelah selesai kuliah, mulailah aku melamar kerja. Pada waktu itu, wanita yang berjilbab dan mengenakan busana muslimah belum menjamur seperti sekarang. SK tentang jilbabpun belum turun. Ada 2 buah lamaran yang aku buat. Salah satunya lamaran ke sebuah bank. Aku terpanggil untuk mengikuti test. Ternyata aku lolos test, kemudian diinterview. Dari interview aku diberitahukan bahwa ketika bekerja tidak diperkenankan memakai jilbab. Dengan syarat tersebut aku memilih mundur.
Pada waktu itu, banyak pihak yang menyesalkan keputusanku. Menurut mereka, aku tidak usah terlalu fanatik, bongkar pasangkan tidak masalah. Aku sendiri berfikir, jika kita bersungguh-sungguh menolong agama Allah, maka Allah akan lebih bersungguh-sungguh menolong kita. Dan Allah bukanlah Tuhan yang suka mengecewakan hambaNya. Berangkat dengan keyakinan tersebut dan prasangka baik kepada Allah, aku mantap dengan keputusanku.
Ternyata, lamaranku yang kedua, ke sebuah perusahaan properti juga diterima. Belajar dari pengalaman sebelumnya, maka ketika aku di wawancara, sebelum ditanya macam-macam, akupun memberanikan diri untuk bertanya.
?Sebelumnya saya minta maaf, saya ingin bertanya, jika saya diterima diperusahaan ini, apakah saya boleh tetap memakai jilbab selama bekerja?? tanyaku
?Boleh-boleh saja, tidak masalah.? Jawab Bp.H yang pada waktu itu mewawancarai aku.
Alhamdulillah, ternyata aku di terima bekerja di perusahaan itu.
Suamipun mengalami ujian masalah rezeki. 3 bulan sebelum pernikahan kami, kontrak kerja suami (calon suami pada waktu itu) tidak diperpanjang. Padahal issue yang beredar ia akan diangkat sebagai pegawai tetap. Baik aku maupun suami tidak ?heboh? menyikapi hal tersebut. Yang heboh justru orang lain. Bayangkanlah, hendak menikah, tetapi jadi pengangguran.
Suami tidak khawatir, karena ia yakin, sekiranya sudah jatuh kewajibannya untuk menafkahi keluarga, maka Allah akan memberinya kemampuan untuk melaksanakan kewajibannya. Aku sendiri, biasa saja mendengar berita tersebut. Karena yakin, sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan keyakinan suamiku. Alhamdulillah, sebulan setelah menikah, suami kembali bekerja dan dalam jangka 1 bulan langsung diangkat sebagai pegawai tetap. Ini adalah bukti atas keyakinan yang utuh atas jaminan Allah. Dan prasangka baiknya bahwa Allah akan memberi ganti pada saat yang tepat, benar-benar menjadi kenyataan.
...
Rasa gelisah akan rezeki hari esok, bukan tentang sulitnya mencari pekerjaan. Bukan tentang kita hanya lulusan SMA, atau kita tidak memiliki pengalaman kerja. Inti persoalannya terletak pada masalah keyakinan dan prasangka baik kita kepada Allah.
Tidak optimis perihal rezeki sesungguhnya karena kita tidak memiliki keyakinan. Sikap inilah yang kemudian membuat kita khawatir, kekhawatiran yang pada akhirnya membuat kita tidak lagi aware terhadap halal atau haramnya penghasilan kita. Padahal, empat bulan dalam kandungan, setiap insan telah Allah tetapkan bagian rezekinya masing-masing. Padahal, Allah menjamin bahwa tidak satupun bintang yang melata, kecuali telah Allah tetapkan rezekinya. Artinya, bagian rezeki untuk kita pasti ada dan pasti sampai.
Selain yakin, bahwa Allah menjamin rezeki bagi setiap makhlukNya, hal lain yang juga sangat penting adalah Husnuzhan atau prasangka baik kepada Allah. Karena Allah senantiasa menurut prasangka hamba-hambaNya. Jika kita berprasangka, bahwa Allah akan memberi kita rezeki dan mencukupi kebutuhan kita, Insya Allah rezeki akan sampai kepada kita dan Allah akan penuhi kebutuhan kita. Yang perlu menjadi catatan adalah, rasa yakin di sini tentu saja rasa yakin yang disertai tindakan aktif. Maksudnya adalah, ibadah hati dengan rasa yakin , dan anggota badan melakukan ikhtiar maksimal.
Karenanya, ketika seorang hamba memilih untuk mengambil yang haram, setidaknya ada dua hal yang mendasari. Yang pertama adalah karena su?uzhzhan atau buruk sangka kepada Allah. Ia menganggap Allah tidak akan menganugerahinya rezeki yang baik dan halal. Yang kedua adalah ketidakmampuan untuk bersabar atas ujian Allah.
Prasangka baik dan juga keyakinan, tidak dapat tumbuh, jika hubungan kita dengan Allah tidak baik. Jadi kunci untuk dapat yakin dan senantiasa berprasangka baik terletak pada hubungan yang baik dengan Allah. Makin baik hubungan kita dengan Allah, makin yakinlah kita terhadapNya. Wallahua?lam.
=====================================
Buat temen2 yang lulus IPK kurang dari 3,00,atau lebih dari 3,00,atau kalkulus masih D belum A,
kita harus sama2 optimis, karena Allah telah mengatur rejeki untuk kita,tetap optimis dan huznuzhan kepada Allah. ;)
Selamat dan sukses buat yang sudah lulus dan segera lulus. :)
sumber: Code:
http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/yusuf-mansur-network/takut-rejeki/444131205209
Dahulu, belasan tahun yang lalu. Setelah selesai kuliah, mulailah aku melamar kerja. Pada waktu itu, wanita yang berjilbab dan mengenakan busana muslimah belum menjamur seperti sekarang. SK tentang jilbabpun belum turun. Ada 2 buah lamaran yang aku buat. Salah satunya lamaran ke sebuah bank. Aku terpanggil untuk mengikuti test. Ternyata aku lolos test, kemudian diinterview. Dari interview aku diberitahukan bahwa ketika bekerja tidak diperkenankan memakai jilbab. Dengan syarat tersebut aku memilih mundur.
Pada waktu itu, banyak pihak yang menyesalkan keputusanku. Menurut mereka, aku tidak usah terlalu fanatik, bongkar pasangkan tidak masalah. Aku sendiri berfikir, jika kita bersungguh-sungguh menolong agama Allah, maka Allah akan lebih bersungguh-sungguh menolong kita. Dan Allah bukanlah Tuhan yang suka mengecewakan hambaNya. Berangkat dengan keyakinan tersebut dan prasangka baik kepada Allah, aku mantap dengan keputusanku.
Ternyata, lamaranku yang kedua, ke sebuah perusahaan properti juga diterima. Belajar dari pengalaman sebelumnya, maka ketika aku di wawancara, sebelum ditanya macam-macam, akupun memberanikan diri untuk bertanya.
?Sebelumnya saya minta maaf, saya ingin bertanya, jika saya diterima diperusahaan ini, apakah saya boleh tetap memakai jilbab selama bekerja?? tanyaku
?Boleh-boleh saja, tidak masalah.? Jawab Bp.H yang pada waktu itu mewawancarai aku.
Alhamdulillah, ternyata aku di terima bekerja di perusahaan itu.
Suamipun mengalami ujian masalah rezeki. 3 bulan sebelum pernikahan kami, kontrak kerja suami (calon suami pada waktu itu) tidak diperpanjang. Padahal issue yang beredar ia akan diangkat sebagai pegawai tetap. Baik aku maupun suami tidak ?heboh? menyikapi hal tersebut. Yang heboh justru orang lain. Bayangkanlah, hendak menikah, tetapi jadi pengangguran.
Suami tidak khawatir, karena ia yakin, sekiranya sudah jatuh kewajibannya untuk menafkahi keluarga, maka Allah akan memberinya kemampuan untuk melaksanakan kewajibannya. Aku sendiri, biasa saja mendengar berita tersebut. Karena yakin, sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan keyakinan suamiku. Alhamdulillah, sebulan setelah menikah, suami kembali bekerja dan dalam jangka 1 bulan langsung diangkat sebagai pegawai tetap. Ini adalah bukti atas keyakinan yang utuh atas jaminan Allah. Dan prasangka baiknya bahwa Allah akan memberi ganti pada saat yang tepat, benar-benar menjadi kenyataan.
...
Rasa gelisah akan rezeki hari esok, bukan tentang sulitnya mencari pekerjaan. Bukan tentang kita hanya lulusan SMA, atau kita tidak memiliki pengalaman kerja. Inti persoalannya terletak pada masalah keyakinan dan prasangka baik kita kepada Allah.
Tidak optimis perihal rezeki sesungguhnya karena kita tidak memiliki keyakinan. Sikap inilah yang kemudian membuat kita khawatir, kekhawatiran yang pada akhirnya membuat kita tidak lagi aware terhadap halal atau haramnya penghasilan kita. Padahal, empat bulan dalam kandungan, setiap insan telah Allah tetapkan bagian rezekinya masing-masing. Padahal, Allah menjamin bahwa tidak satupun bintang yang melata, kecuali telah Allah tetapkan rezekinya. Artinya, bagian rezeki untuk kita pasti ada dan pasti sampai.
Selain yakin, bahwa Allah menjamin rezeki bagi setiap makhlukNya, hal lain yang juga sangat penting adalah Husnuzhan atau prasangka baik kepada Allah. Karena Allah senantiasa menurut prasangka hamba-hambaNya. Jika kita berprasangka, bahwa Allah akan memberi kita rezeki dan mencukupi kebutuhan kita, Insya Allah rezeki akan sampai kepada kita dan Allah akan penuhi kebutuhan kita. Yang perlu menjadi catatan adalah, rasa yakin di sini tentu saja rasa yakin yang disertai tindakan aktif. Maksudnya adalah, ibadah hati dengan rasa yakin , dan anggota badan melakukan ikhtiar maksimal.
Karenanya, ketika seorang hamba memilih untuk mengambil yang haram, setidaknya ada dua hal yang mendasari. Yang pertama adalah karena su?uzhzhan atau buruk sangka kepada Allah. Ia menganggap Allah tidak akan menganugerahinya rezeki yang baik dan halal. Yang kedua adalah ketidakmampuan untuk bersabar atas ujian Allah.
Prasangka baik dan juga keyakinan, tidak dapat tumbuh, jika hubungan kita dengan Allah tidak baik. Jadi kunci untuk dapat yakin dan senantiasa berprasangka baik terletak pada hubungan yang baik dengan Allah. Makin baik hubungan kita dengan Allah, makin yakinlah kita terhadapNya. Wallahua?lam.
=====================================
Buat temen2 yang lulus IPK kurang dari 3,00,atau lebih dari 3,00,atau kalkulus masih D belum A,
kita harus sama2 optimis, karena Allah telah mengatur rejeki untuk kita,tetap optimis dan huznuzhan kepada Allah. ;)
Selamat dan sukses buat yang sudah lulus dan segera lulus. :)
sumber: Code:
http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/yusuf-mansur-network/takut-rejeki/444131205209
Keyakinan akan Jaminan Rezeki dari Allah
Sering kita mendengar nasehat bahwa tugas manusia bukan mencari rezeki, melainkan menjemput rezeki. Istilah “mencari” adalah untuk sesuatu yang sifatnya antara ada dan tiada, sedangkan “menjemput” digunakan untuk sesuatu yang pasti ada. Nasehat tersebut benar adanya, karena rezeki untuk setiap makhluk pasti ada, karena sudah dijamin oleh Allah. Seperti yang Allah firmankan dalam Al Qur’an:
“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di muka bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya, Dia (Allah) mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. QS. Hud (11) : 6
Orang tua bukanlah pemberi rezeki, orang tua hanya sebagai jalan rezeki bagi seorang anak. Begitu juga suami bagi seorang istri dan pembeli bagi seorang pedagang. Yang memberi dan menetapkan rezeki adalah Allah. Oleh karenanya, janganlah seorang pedagang bersikap baik kepada calon pembeli dengan niatan agar dagangannya dibeli. Janganlah seseorang kuliah tinggi-tinggi dengan niatan dapat pekerjaan yang bagus dengan gaji yang tinggi. Janganlah seseorang bercita-cita menjadi dokter agar mempunyai uang yang banyak. Niatkanlah kebaikan-kebaikan itu semua agar kita mendapatkan kehidupan dunia yang berkah, yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain dan dapat mendekatkan diri kita kepada Allah.
Sejak kita berusia 120 hari di dalam rahim ibu, Allah telah menuliskan rezeki kita. Lantas, mengapa seringkali kita merasa sulit memperoleh rezeki seperti yang kita harapkan? Yang pertama, bisa jadi karena kita tidak tahu tempatnya sehingga kita menjemput di tempat yang salah. Atau yang kedua, bisa jadi rezeki itu sudah di depan mata tetapi kita tidak melihatnya dikeranakan terhalang oleh sesuatu, yaitu kotoran dosa-dosa kita. Oleh karena itu, jangan berhenti “bertanya” kepada Allah dan terus-menerus bertaubat, meminta ampunan atas semua dosa-dosa kita. Semoga Allah menunjukkan kepada kita di mana tempat penyimpanan rezeki kita dan menuntun kita untuk menjemput rezeki tersebut sesuai dengan cara-cara yang dikehendakiNya.
Dan tetaplah ingat bahwa rezeki yang sedikit namun mencukupi lebih baik daripada banyak namun melalaikan. Wallahu’alam
mq pagy
Optimis akan Jaminan Rezeki dari Allah
Ahmad adalah seorang bapak sederhana yang memiliki kehidupan pas-pasan. Profesi dan keahliannya adalah sebagai tukang/mandor dalam pekerjaan pembangunan/perbaikan rumah. Sudah beberapa bulan ini, Ahmad belum memiliki pekerjaan/proyek yang bisa dihandalkan. Kondisi ekonomi dunia yang memburuk, berimbas pada penurunan daya beli masyarakat termasuk daya beli untuk membeli, membangun, atau memperbaiki rumah tinggal. Karena kondisi itulah, praktis beliau kini banyak menghabiskan hari-harinya di rumah. Hanya sekali-kali Ahmad mendapatkan proyek perbaikan rumah tinggal, itu pun tidak bernilai signifikan.
Meski tidak sedang menangani pekerjaan, bukan berarti beliau tidak memiliki kesibukan. Selaku hamba yang memiliki kesadaran sosial, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan dakwah di lingkungannya. Dalam setiap kegiatan --baik itu berkaitan dengan peringatan hari besar Islam seperti pembagian zakat atau peyembelihan hewan kurban, atau kegiatan sosial lainnya seperti santunan yatim piatu/dhuafa, bakti sosial, pengobatan gratis, penjualan sembako murah dan pakaian layak pakai--beliau sering kali berpartisipasi aktif menyukseskan kegiatan tersebut. Jiwa kerelawanan (volunteer) seakan telah melekat pada diri beliau.
Isterinya, Ibu Kutik, adalah ibu rumah tangga biasa yang hanya tamatan SD. Namun demikian, sebagaimana suaminya, beliau pun banyak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan dakwah di lingkungannya. Bahkan beliau sering dilibatkan dalam koordinasi kegiatan bersama dengan pengurus inti organisasi selevel ranting atau cabang. Keterbatasan pendidikan tidak menjadikannya minder untuk bergabung dengan rekan sejawat yang sarjana. Jiwa kerelawanan itulah yang menjadi motor penggerak mobilitas diri beliau. Dan sesungguhnya, jiwa inilah yang dibutuhkan oleh organisasi yang menggulirkan program sosial dan dakwah di lingkungannya tersebut agar setiap program yang digulirkan bisa diapplikasikan dengan sukses.
Beberapa hari yang lalu, Ibu Kutik melahirkan anaknya yang ke-4. Cukup surprise karena baru kali itulah beliau melahirkan seorang bayi laki-laki. Tentu anugerah ini menjadikan mereka merasa sangat berbahagia. Rasa syukur begitu melimpah atas persalinan Ibu Kutik yang teramat mudah di ruang bersalin Puskesmas Pondok Gede dekat rumah tinggalnya.
Selang beberapa hari kemudian, beliau menelpon kami meminta sebuah nama untuk bayinya. Sebenarnya kami bukanlah orang yang pandai dalam merangkai sebuah nama. Namun agaknya mereka cukup menghormati kami sehingga untuk pemberian sebuah nama pun mereka meminta dari kami. Kami pun berusaha menggembirakan dengan pemberian nama yang menurut kami cukup indah dan bermakna. Untuk anak mereka sebelumnya (anak ke-3), kami memberi nama “Muti’ah” dengan harapan agar ia menjadi muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk bayi laki-laki kali ini kami memberikan nama yang cukup sederhana yaitu "Mahmud Abdurrazaq". Mahmud yang berarti terpuji, adalah nama pemberian isteri saya. Sedangkan Abdurrazaq yang berarti hamba dari (Allah) Sang Maha Pemberi Rezeki, adalah nama pemberian dari saya. Harapan yang terkandung dari nama itu adalah agar ia menjadi hamba Allah yang terpuji (baik di langit dan di bumi) dan menjadi hamba/abdi dari Tuhan yang Maha Pemberi Rezeki, bukan hamba/abdi dari Tuhan selain-Nya.
Ada latar belakang yang mendasari kenapa saya memberi nama “Abdurrazaq” kepada si bayi laki-laki itu. Ingatan saya terbayang pada respon pertama dari Ibu Kutik saat mengetahui bahwa dirinya ternyata hamil. Beliau merasa tidak bergairah dan seakan-akan kehamilannya itu adalah kehamilan yang tidak beliau harapkan. Beliau khawatir tidak mampu memelihara si bayi dengan kondisi ekonomi beliau dan suami yang pas-pasan. Namun Alhamdulillah, ibu-ibu sejawatnya termasuk isteri saya, memberikan appresiasi positif dan menguatkan optimisme akan jaminan rezeki dari-Nya.
Dengan memberi nama “Abdurrazaq”, saya ingin menanamkan sebuah kesadaran bahwa bayi yang dilahirkan beliau tersebut adalah pemberian dari Sang Maha Pemberi Rezeki. Seharusnyalah beliau tiada pernah takut akan pemeliharaan dari-Nya. Allah yang berkehendak, tentulah Dia yang menjamin rezekinya. Dalam kondisi buruk sekalipun seperti krisis ekonomi global yang melanda dunia kini, sifat Allah yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki itu tidak akan berubah dan berkurang sedikitpun. Oleh karenanya, kelahiran bayi tersebut sepatutnya tidak dianggap sebagai beban. Sebaliknya, optimisme harus selalu dibangkitkan karena bersama beban yang timbul, maka Allah SWT telah menyiapkan rezeki sebagai sarana untuk memenuhi beban atau tanggung jawab tersebut.
---
Membangkitkan optimisme akan jaminan rezeki Allah SWT rasanya perlu juga saya sampaikan terhadap seorang sahabat yang juga diliputi kegamangan dan pesimisme akan jaminan rezeki. Baru-baru ini dia membulatkan tekad mengambil kredit mobil keluarga yang selama ini diidam-idamkan. Bukan untuk kemewahan, tetapi untuk memperlancar usahanya.
Ia diliputi keraguan karena beragam pendapat negatif yang muncul dipermukaan. Ada yang berpendapat bahwa sangatlah rugi jika harus membeli mobil dengan cara kredit, karena selain terkena suku bunga yang cukup tinggi, juga akan kehilangan opportunity return dari uang angsuran yang semestinya bisa diputar untuk modal usaha atau investasi.
Ada juga yang berpandangan, sangatlah tidak tepat mengambil kredit mobil di tengah kondisi krisis dan suku bunga yang masih tinggi. Besar angsuran yang harus ditanggung setiap bulan sebagai konsekuensi pengambilan kredit mobil itu, bukanlah jumlah yang kecil. Terlebih tenor waktunya 48 bulan atau 4 tahun. Dibutuhkan daya tahan yang cukup untuk bisa membayar uang cicilan itu hingga lunas.
Belum jika dikalkulasi, ternyata jumlah angsuran setiap bulannya itu lebih dari 30% total pendapatan, tidak memenuhi syarat sebagaimana direkomendasikan oleh konsultan perencana keuangan keluarga.
Pendapat yang menyejukkan akhirnya ia dapatkan dari seorang sahabat dan seorang anggota keluarganya. Seorang sahabat mengatakan bahwa jika memang pada akhirnya kredit mobil itu jadi diambil, maka itu adalah rezeki. Janganlah dipandang sebagai beban. Pertimbangan panjang yang berakhir pada keputusan membeli mobil (secara kredit) itu mengandung isyarat bahwa bersama dengan pengambilan kredit mobil, Insya Allah akan terbuka aliran rezeki guna menutupi beban cicilan tersebut. Allah tidak akan memberikan beban di luar kesanggupan seorang hamba.
Sedangkan seorang anggota keluarganya malah memuji keberaniannya mengambil kredit mobil itu. Ia menandaskan, yang penting niatnya bukanlah untuk gagah-gagahan. Peruntukkannya jelas seperti untuk mengembangkan usaha atau memudahkan mobilitas kegiatan. Untuk kalangan pebisnis, mengambil kredit mobil adalah hal yang lazim, karena mobil adalah sarana penunjang bisnis yang cukup bisa dihandalkan dan bisa menjadi barang investasi yang menguntungkan. Bagi yang tidak memiliki cukup uang tunai, membeli mobil secara kredit adalah pilihan yang rasional dan wajar.
Saya pun setuju dan menguatkan dengan saran-saran yang membangun optimisme tersebut. Memiliki anak baru atau mobil kredit baru, bagi sebagian orang memang dianggap sebagai beban. Namun bagi sebagian yang lain, merupakan rezeki yang harus disyukuri. Keyakinan apakah kondisi tersebut merupakan beban ataukah rezeki, sangat berkait dengan proses kemunculannya dan kondisi keimanan saat kemunculan tersebut.
Ibu Kutik sama sekali tidak menduga bahwa dirinya bakal hamil. Beliau sadar bahwa anak ketiganya masih relatif kecil dan “belum siap” memiliki adik. Sumber penghasilan suaminya pun sangat pas-pasan. Beliau telah berusaha “menjaga diri” agar tidak timbul kahamilan. Namun ternyata beliau hamil juga. Jika memang demikian adanya, tentu Allah SWT telah berkenan menyiapkan rezeki untuk sang bayi tersebut. Terbukti kemudian, sang bayi pun tersebut lahir dengan selamat dan Ahmad mampu membeli dua kambing untuk aqiqahan dari upah mengerjakan proyek sebulan terakhir ini.
Sahabat saya pun tidak menduga bakal ditawari paket kredit mobil keluarga oleh marketing executive sebuah dealer mobil. Sempat timbul niatan untuk membatalkan pemesanan setelah ia memberikan tanda jadi satu juta rupiah kepada dealer tersebut. Namun entah kenapa pada detik-detik terakhir, sahabat tersebut mengiyakan anjuran-anjuran yang dikemukakan oleh marketing executive yang terlihat jujur itu. Dia tidak ingat apa-apa selain ingat akan keluasan Allah atas rezeki yang dimiliki-Nya dan harapan agar Allah memudahkan pembayaran angsurannya ke depan sebagaimana Allah memudahkannya mendapatkan mobil itu ready stock tanpa harus meng-indent terlebih dahulu. Padahal biasanya untuk pemesanan mobil tersebut harus indent minimal tiga bulan sebelumnya. Dia berhusnudzon, boleh jadi inilah cara Allah menganugerahinya kemudahan memiliki mobil yang sudah lama diidamkan.
Ya. Dalam setiap kondisi, kita memang harus ingat bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki yang Maha Adil. Tidak sepantasnyalah kita berputus-asa, kecuali bagi orang-orang yang suka melakukan dosa. Bagi orang-orang senantiasa memohon ampun dan bertaubat, Allah SWT senantiasa memberikan karunia rezeki-Nya sebagaimana firman-Nya;
maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? (QS 71: 10-13).
Dua kejadian tersebut di atas cukup memberi hikmah bahwa kita tidak perlu ragu dengan jaminan rezeki dari Allah sang Pemberi Rezeki. Bukan berarti saya menganjurkan untuk bersantai-santai dan yakin saja dengan jaminan Allah itu. Sepanjang kita telah berusaha secara optimal dan selalu mengerahkan daya untuk mencapai kondisi yang lebih baik dalam koridor ketaatan kepada-Nya, maka janganlah sekali-kali menganggap bahwa apa yang kita hadapi adalah sebagai beban. Persepsi demikian akan membangun pesimisme yang justru kontraproduktif terhadap kemudahan datangnya rezeki. Anggaplah ia sebagai rezeki. Pada satu sisi, Insya Allah ini akan berdampak pada semangat penjemputan rezeki, dan pada sisi lainnya, Allah akan memudahkan jalan untuk menggapai rezeki yang dijanjikan-Nya itu.
Wallahu’alam bishshawaab
rizqon_ak@eramuslim.com
muhammadrizqon'site
http://www.eramuslim.com/oase-iman/optimis-akan-jaminan-rezeki-dari-allah.htm
Meski tidak sedang menangani pekerjaan, bukan berarti beliau tidak memiliki kesibukan. Selaku hamba yang memiliki kesadaran sosial, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan dakwah di lingkungannya. Dalam setiap kegiatan --baik itu berkaitan dengan peringatan hari besar Islam seperti pembagian zakat atau peyembelihan hewan kurban, atau kegiatan sosial lainnya seperti santunan yatim piatu/dhuafa, bakti sosial, pengobatan gratis, penjualan sembako murah dan pakaian layak pakai--beliau sering kali berpartisipasi aktif menyukseskan kegiatan tersebut. Jiwa kerelawanan (volunteer) seakan telah melekat pada diri beliau.
Isterinya, Ibu Kutik, adalah ibu rumah tangga biasa yang hanya tamatan SD. Namun demikian, sebagaimana suaminya, beliau pun banyak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan dakwah di lingkungannya. Bahkan beliau sering dilibatkan dalam koordinasi kegiatan bersama dengan pengurus inti organisasi selevel ranting atau cabang. Keterbatasan pendidikan tidak menjadikannya minder untuk bergabung dengan rekan sejawat yang sarjana. Jiwa kerelawanan itulah yang menjadi motor penggerak mobilitas diri beliau. Dan sesungguhnya, jiwa inilah yang dibutuhkan oleh organisasi yang menggulirkan program sosial dan dakwah di lingkungannya tersebut agar setiap program yang digulirkan bisa diapplikasikan dengan sukses.
Beberapa hari yang lalu, Ibu Kutik melahirkan anaknya yang ke-4. Cukup surprise karena baru kali itulah beliau melahirkan seorang bayi laki-laki. Tentu anugerah ini menjadikan mereka merasa sangat berbahagia. Rasa syukur begitu melimpah atas persalinan Ibu Kutik yang teramat mudah di ruang bersalin Puskesmas Pondok Gede dekat rumah tinggalnya.
Selang beberapa hari kemudian, beliau menelpon kami meminta sebuah nama untuk bayinya. Sebenarnya kami bukanlah orang yang pandai dalam merangkai sebuah nama. Namun agaknya mereka cukup menghormati kami sehingga untuk pemberian sebuah nama pun mereka meminta dari kami. Kami pun berusaha menggembirakan dengan pemberian nama yang menurut kami cukup indah dan bermakna. Untuk anak mereka sebelumnya (anak ke-3), kami memberi nama “Muti’ah” dengan harapan agar ia menjadi muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk bayi laki-laki kali ini kami memberikan nama yang cukup sederhana yaitu "Mahmud Abdurrazaq". Mahmud yang berarti terpuji, adalah nama pemberian isteri saya. Sedangkan Abdurrazaq yang berarti hamba dari (Allah) Sang Maha Pemberi Rezeki, adalah nama pemberian dari saya. Harapan yang terkandung dari nama itu adalah agar ia menjadi hamba Allah yang terpuji (baik di langit dan di bumi) dan menjadi hamba/abdi dari Tuhan yang Maha Pemberi Rezeki, bukan hamba/abdi dari Tuhan selain-Nya.
Ada latar belakang yang mendasari kenapa saya memberi nama “Abdurrazaq” kepada si bayi laki-laki itu. Ingatan saya terbayang pada respon pertama dari Ibu Kutik saat mengetahui bahwa dirinya ternyata hamil. Beliau merasa tidak bergairah dan seakan-akan kehamilannya itu adalah kehamilan yang tidak beliau harapkan. Beliau khawatir tidak mampu memelihara si bayi dengan kondisi ekonomi beliau dan suami yang pas-pasan. Namun Alhamdulillah, ibu-ibu sejawatnya termasuk isteri saya, memberikan appresiasi positif dan menguatkan optimisme akan jaminan rezeki dari-Nya.
Dengan memberi nama “Abdurrazaq”, saya ingin menanamkan sebuah kesadaran bahwa bayi yang dilahirkan beliau tersebut adalah pemberian dari Sang Maha Pemberi Rezeki. Seharusnyalah beliau tiada pernah takut akan pemeliharaan dari-Nya. Allah yang berkehendak, tentulah Dia yang menjamin rezekinya. Dalam kondisi buruk sekalipun seperti krisis ekonomi global yang melanda dunia kini, sifat Allah yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki itu tidak akan berubah dan berkurang sedikitpun. Oleh karenanya, kelahiran bayi tersebut sepatutnya tidak dianggap sebagai beban. Sebaliknya, optimisme harus selalu dibangkitkan karena bersama beban yang timbul, maka Allah SWT telah menyiapkan rezeki sebagai sarana untuk memenuhi beban atau tanggung jawab tersebut.
---
Membangkitkan optimisme akan jaminan rezeki Allah SWT rasanya perlu juga saya sampaikan terhadap seorang sahabat yang juga diliputi kegamangan dan pesimisme akan jaminan rezeki. Baru-baru ini dia membulatkan tekad mengambil kredit mobil keluarga yang selama ini diidam-idamkan. Bukan untuk kemewahan, tetapi untuk memperlancar usahanya.
Ia diliputi keraguan karena beragam pendapat negatif yang muncul dipermukaan. Ada yang berpendapat bahwa sangatlah rugi jika harus membeli mobil dengan cara kredit, karena selain terkena suku bunga yang cukup tinggi, juga akan kehilangan opportunity return dari uang angsuran yang semestinya bisa diputar untuk modal usaha atau investasi.
Ada juga yang berpandangan, sangatlah tidak tepat mengambil kredit mobil di tengah kondisi krisis dan suku bunga yang masih tinggi. Besar angsuran yang harus ditanggung setiap bulan sebagai konsekuensi pengambilan kredit mobil itu, bukanlah jumlah yang kecil. Terlebih tenor waktunya 48 bulan atau 4 tahun. Dibutuhkan daya tahan yang cukup untuk bisa membayar uang cicilan itu hingga lunas.
Belum jika dikalkulasi, ternyata jumlah angsuran setiap bulannya itu lebih dari 30% total pendapatan, tidak memenuhi syarat sebagaimana direkomendasikan oleh konsultan perencana keuangan keluarga.
Pendapat yang menyejukkan akhirnya ia dapatkan dari seorang sahabat dan seorang anggota keluarganya. Seorang sahabat mengatakan bahwa jika memang pada akhirnya kredit mobil itu jadi diambil, maka itu adalah rezeki. Janganlah dipandang sebagai beban. Pertimbangan panjang yang berakhir pada keputusan membeli mobil (secara kredit) itu mengandung isyarat bahwa bersama dengan pengambilan kredit mobil, Insya Allah akan terbuka aliran rezeki guna menutupi beban cicilan tersebut. Allah tidak akan memberikan beban di luar kesanggupan seorang hamba.
Sedangkan seorang anggota keluarganya malah memuji keberaniannya mengambil kredit mobil itu. Ia menandaskan, yang penting niatnya bukanlah untuk gagah-gagahan. Peruntukkannya jelas seperti untuk mengembangkan usaha atau memudahkan mobilitas kegiatan. Untuk kalangan pebisnis, mengambil kredit mobil adalah hal yang lazim, karena mobil adalah sarana penunjang bisnis yang cukup bisa dihandalkan dan bisa menjadi barang investasi yang menguntungkan. Bagi yang tidak memiliki cukup uang tunai, membeli mobil secara kredit adalah pilihan yang rasional dan wajar.
Saya pun setuju dan menguatkan dengan saran-saran yang membangun optimisme tersebut. Memiliki anak baru atau mobil kredit baru, bagi sebagian orang memang dianggap sebagai beban. Namun bagi sebagian yang lain, merupakan rezeki yang harus disyukuri. Keyakinan apakah kondisi tersebut merupakan beban ataukah rezeki, sangat berkait dengan proses kemunculannya dan kondisi keimanan saat kemunculan tersebut.
Ibu Kutik sama sekali tidak menduga bahwa dirinya bakal hamil. Beliau sadar bahwa anak ketiganya masih relatif kecil dan “belum siap” memiliki adik. Sumber penghasilan suaminya pun sangat pas-pasan. Beliau telah berusaha “menjaga diri” agar tidak timbul kahamilan. Namun ternyata beliau hamil juga. Jika memang demikian adanya, tentu Allah SWT telah berkenan menyiapkan rezeki untuk sang bayi tersebut. Terbukti kemudian, sang bayi pun tersebut lahir dengan selamat dan Ahmad mampu membeli dua kambing untuk aqiqahan dari upah mengerjakan proyek sebulan terakhir ini.
Sahabat saya pun tidak menduga bakal ditawari paket kredit mobil keluarga oleh marketing executive sebuah dealer mobil. Sempat timbul niatan untuk membatalkan pemesanan setelah ia memberikan tanda jadi satu juta rupiah kepada dealer tersebut. Namun entah kenapa pada detik-detik terakhir, sahabat tersebut mengiyakan anjuran-anjuran yang dikemukakan oleh marketing executive yang terlihat jujur itu. Dia tidak ingat apa-apa selain ingat akan keluasan Allah atas rezeki yang dimiliki-Nya dan harapan agar Allah memudahkan pembayaran angsurannya ke depan sebagaimana Allah memudahkannya mendapatkan mobil itu ready stock tanpa harus meng-indent terlebih dahulu. Padahal biasanya untuk pemesanan mobil tersebut harus indent minimal tiga bulan sebelumnya. Dia berhusnudzon, boleh jadi inilah cara Allah menganugerahinya kemudahan memiliki mobil yang sudah lama diidamkan.
Ya. Dalam setiap kondisi, kita memang harus ingat bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki yang Maha Adil. Tidak sepantasnyalah kita berputus-asa, kecuali bagi orang-orang yang suka melakukan dosa. Bagi orang-orang senantiasa memohon ampun dan bertaubat, Allah SWT senantiasa memberikan karunia rezeki-Nya sebagaimana firman-Nya;
maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? (QS 71: 10-13).
Dua kejadian tersebut di atas cukup memberi hikmah bahwa kita tidak perlu ragu dengan jaminan rezeki dari Allah sang Pemberi Rezeki. Bukan berarti saya menganjurkan untuk bersantai-santai dan yakin saja dengan jaminan Allah itu. Sepanjang kita telah berusaha secara optimal dan selalu mengerahkan daya untuk mencapai kondisi yang lebih baik dalam koridor ketaatan kepada-Nya, maka janganlah sekali-kali menganggap bahwa apa yang kita hadapi adalah sebagai beban. Persepsi demikian akan membangun pesimisme yang justru kontraproduktif terhadap kemudahan datangnya rezeki. Anggaplah ia sebagai rezeki. Pada satu sisi, Insya Allah ini akan berdampak pada semangat penjemputan rezeki, dan pada sisi lainnya, Allah akan memudahkan jalan untuk menggapai rezeki yang dijanjikan-Nya itu.
Wallahu’alam bishshawaab
rizqon_ak@eramuslim.com
muhammadrizqon'site
http://www.eramuslim.com/oase-iman/optimis-akan-jaminan-rezeki-dari-allah.htm
Jumat, 22 April 2011
MISTERI REZEKI ALLAH SWT
MISTERI REZEKI ALLAH SWT
Sahabat sukses Rumah Yatim Indonesia yang dimuliakan Allah SWT, tidak satupun diantara kita yang bebas dari berbagai persoalan kehidupan, miskin bermasalah kayapun bermasalah, nganggur bermasalah kerjapun bermasalah, sendiri bermasalah sudah nikahpun bermasalah, gak punya anak bermasalah punya anakpun bermasalah, nah sebaik-baik kita yang bermasalah adalah yang tidak pernah lari dari masalah siap menghadapi dan mensyukuri setiap apapun yang terjadi.
Karena hakekatnya masalah adalah sengaja dibuat oleh Allah sebagai ujian untuk mengetahui siapa diantara kita yang terbaik iman dan amalnya. Ketika Nabi Muhammad SAW mengundang para sahabat untuk menghadiri walimatul ursy ( Pesta Pernikahan ) yang diadakan beliau dengan seorang wanita yang menjadi istrinya. Para sahabat hadir dan begitu mereka menyaksikan tentang rupa makanan yang dijamukan oleh Rasulullah SAW, mereka tak tahan untuk tidak memperbincangkannya.
" Darimana Rasulullah SAW akan mampu memenuhi kebutuhan hidup dari para istri-istrinya ? coba lihat, jamuan walimahnya saja cuma seperti itu ?" Rasulullah SAW diam saja. Beliau bukan tidak tahu apa yang diperbincangkan oleh para sahabat saat itu. Usai menunaikan sholat, Rasulullah SAW menceritakan suatu kisah kepada para sahabat yang hadir. " Aku ingin menceritakan suatu kisah perihal rezeki kepada kalian. Kisah ini diceritakan oleh malaikat Jibril kepadaku. Bolehkah aku meneruskan kisah ini kepada kalian ?"
Rasulullah SAW kemudian memulai kisahnya. " Suatu ketika Nabi sulaiman a.s melakukan sholat ditepi pantai. Usai sholat, beliau melihat ada seekor semut sedang berjalan di atas air sambil membawa daun hijau. Beliau yang mengerti bahasa binatang mendengar si semut memanggil-manggil si katak. Tak berapa lama kemudian, lalu seekor katak muncul. Ada apa gerangan dengan si katak itu sehingga si semut terus-menerus memanggilnya tadi ?
Nabi Sulaiman menyaksikan bahwa begitu si katak muncul, katak itu langsung saja menggendong sang semut masuk ke dalam air menuju dasar laut. Ada apa di dasar laut ? Semut itu menceritakan kepada Nabi Sulaiman a.s bahwa di sana ada berdiam seekor ulat. Sang ulat menggantungkan rezekinya kepada si semut. " Sehari dua kali aku diantar oleh malaikat ke dasar laut untuk memberi makanan kepada ulat itu ". Demikian si semut memberikan penjelasannya kepada Nabi Sulaiman a.s. " Siapakah malaikat itu, hai semut ?" tanya Nabi Sulaiman kepada si semut dengan penuh selidik. " dia adlah si katak sendiri. Malaikat menjelmakan dirinya menjadi katak yang kemudian mengantarkan aku menuju dasar laut ". Setiap selesai menerima kiriman daun hijau dan melahapnya, si ulat tak lupa memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, " Maha Besar Allah yang mentakdirkan aku hidup di dasar laut ".
Dalam mengakhiri ceritanya itu, Rasulullah SAW memberi pandangannya. " Jika ulat saja yang hidupnya di dasar laut, Allah SWT masih tetap memberinya makanan, maka apakah Allah SWT tega menelantarkan umat Muhammad soal rezeki dan rahmatnya ?"
Sahabat, marilah kita lihat hewan yang sangat lemah, yaitu cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk survive atau bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan, tanduk atau bahkan mungkin ia juga tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi ia adalah makhluk hidup juga dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati. Tapi kita lihat , dengan segala keterbatasannya, cacing tidak pernah putus asa dan frustasi untuk menjemput rizki . Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan tubuhnya ke batu, atau terjun dari gedung lantai 7. emang ada cacing bisa naik lift ? he he he...
Sahabat, sebenarnya kebutuhan perut dan tubuh kita ini sebenarnya tidaklah menuntut yang aneh-aneh, namun kita seringkali membeli barang yang aneh-aneh demi memenuhi berbagai keinginan-keinginan nafsu kita, makan di warung kaki lima sama di restoran sama kenyangnya, baju di mall sama baju di Tanah Abang sama nyamannya, rumah sederhana sama rumah mewah sama fungsinya, ya… ternyata gaya hidup yang membuat kita memaksakan diri dan mempersulit diri kita sendiri, hanya dengan mencontoh gaya hidup Muhammad SAW maka hidup kita akan ringan, mudah dan penuh berkah. “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepada kalian hingga kalian mengikuti GAYA HIDUP mereka.” ( Al-Baqoroh : 120 ),
karena dengan mengikuti gaya hidup mereka maka kantong kita dan kantong negara kita ini akan terkuras habis sampai ngutang sama mereka, maka barulah mereka tersenyum menjabat tangan kita. Sahabat, dari pada mengikuti gaya hidup mereka mending kita alihkan untuk investasi yang lebih prospektif untuk masa depan kita di Dunia dan Akhirat kelak.
Akhir bulan tiba, mari abadikan yang tersisa dengan sedekah bersama Rumah Yatim Indonesia, klik http://www.rumah-yatim-indonesia.org/
Langganan:
Postingan (Atom)