Jumat, 05 Oktober 2012

Perhatikanlah hatimu ketika engkau beramal

Sesungguhnya amalan shalih itu adalah amalan yang sesuai dengan syari’at ALlah, dan amalan yang hanya ditujukan kepada Allah semata, dengan tidak menghadirkan sekutu-sekutu lain dalam amalan tersebut. Setelah kita berusaha untuk merujuk kepada sunnah dalam amalan kita, alhamdulilaah ini kebaikan dari Allah untuk kita; namun masih ada satu faktor lain yang harus kita perhatikan, “kondisi hati kita dalam mengamalkan amalan yang sudah sesuai sunnah tersebut”

Ketahuilah ketika seseorang beramal kebaikan, maka syaithan tidak akan tinggal diam terhadapnya! Sesungguhnya ini belumlah menjadi kemenangan si pelaku kebaikan ini! Syaithan masih memiliki panah-panah lain untuk menjerumuskannya dalam perbuatan mungkar! Benarkah demikian? Bukankah si pelaku ini sedang berbuat kebaikan?! Benar ia berbuat kebaikan SECARA ZHAHIR, namun ia tidak tahu kondisi hatinya! Yang mana amalan yang nampak kebaikan tersebut bisa menjadi amalan keburukan! KARENA AMALAN HATINYA!

Bukankah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ

“Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka…

وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga..

وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

Sungguh amalan itu tergantung dengan penutupannya.”

(HR. Bukhariy)

Para ulama menjelaskan:

“Orang-orang yang mengamalkan amalan penghuni surga tersebut, terjatuh dalam syirik ashghar; seperti riya’ (ingin dilihat agar nampak sebagai orang shalih), sum’ah (agar didengar amalannya, sehingga nampak sebagai orang shalih), takabur/ujub (bangga akan amalannya); sehingga secara tampak, ia beramal kebaikan tapi yang ia lakukan adalah amalan penduduk neraka.

Sedangkan orang-orang yang mengamalkan amalan penghuni neraka tesrsebut, senantiasa ada rasa takut dalam hatinya ketika ia beramal buruk. rasa takutnya inilah yang mungkin menjadi sebab baginya diberi petunjuk oleh Allah sebelum ia wafat. Sehingga ia bertaubat sebelum matinya, sehingga ia mati dalam keadaan bertaubat dengan taubat yang jujur, taubat nasuuh; sehingga Allah menerima taubatnya, dan ia menjadi penghuni surga.”

Hal demikian juga dijelaskan secara rinci dalam hadits lain, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ الْبُرْهَةَ مِنْ عُمُرِهِ بِالْعَمَلِ الَّذِي لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ فَإِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ تَحَوَّلَ فَعَمِلَ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ

“ada seseorang yang beramal dengan sekejap saja dengan amalan yang seandainya dia mati saat itu maka dia akan masuk surga; namun sebelum kematiannya dia berubah, lalu melakukan amalan penduduk neraka lalu mati, lalu dia masuk neraka.

وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ الْبُرْهَةَ مِنْ عُمُرِهِ بِالْعَمَلِ الَّذِي لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ فَإِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ تَحَوَّلَ فَعَمِلَ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ

ada seseorang yang beramal dengan sekejap saja dengan amalan yang seandainya dia mati saat itu maka dia akan masuk neraka; namun sebelum kematiannya dia berubah, lalu melakukan amalan penduduk surga lalu mati, lalu dia masuk surga.”

(HR. Ahmad, dishahiihkan syaikh muqbil dalam shahiihul musnaad)

Sebagaimana juga dikatakan Sa’id ibn Jubair rahimahullah:

“Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan amalan kebaikan, bisa jadi dengan sebab amalan kebaikannya itu akan memasukkannya ke dalam neraka. Bisa jadi pula seorang hamba melakukan amalan kejelekan akan tetapi membawa dirinya masuk ke dalam surga. Hal itu karena orang-orang yang melakukan amal kebaikan malah membawa dirinya untukm membanggakan amalan kebaikannya (sehingga ia su’ul khatimah, dan dimasukkan kedalam neraka). Sebaliknya, hamba yang terjatuh ke dalam kejelekan membawa dirinya untuk meminta ampun kepada Allah, kemudian Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya”

Maka artikel yang singkat ini, semoga dapat menyadarkan kita dari kelalaian kita dalam beramal kebaikan; sehingga kita mewaspadai amalan-amalan mungkar yang diamalkan hati kita..

Waspadailah Riyaa’ dan Sum’ah

Berapa banyak dari kita yang beramal, yang mana kita menganggap amalan tersebut adalah amalan yang kita tujukan kepada Allah.. namun jika kita jujur melihat dalam lubuk hati kita yang paling dalam… ternyata ada noda-noda syirik… yang mana kita juga meniatkan agar “tenar”, agar dilihat orang, agar didengar orang; bahwa kita itu shaleh?

Bukankah engkau tahu, bahwa Allah SATU-SATUNYA Pencipta dan pemelihara alam semesta? SATU-SATUNYA pemberi rezeki? YA bahkan engkau tahu akan itu! tapi mengapa engkau menyertakan manusia dalam amalanmu? Bukankah engkau tahu bahwa Allah adalah SATU-SATUNYA SESEMBAHAN yang berhak diibadahi YANG TIDAK BUTUH AKAN SEKUTU?!

Bukankah engkau tahu, bahwa manusia tidaklah mempunyai neraka untuk mengadzab, tidak mempunyai surga untuk mensyukuri? YA bahkan engkau tahu akan itu! tapi mengapa engkau menyertakan manusia dalam amalanmu? yang seharusnya HANYA ALLAH SAJA satu-satunya sesembahan yang berhak untuk diniatkan dalam amal itu tanpa menyertakan sekutu-sekutu lain termasuk manusia?!

Engkau tahu.. engkau tahu.. hanya saja karena kelalaianmu dan karena hasrat duniawimu, sehinga engkau lupa atau pura-pura lupa hal ini!

Maka benarlah firman Allah:

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

(Al Baqarah 2: 22)

Waspadailah Sifat Ujub

Berapa banyak dari kita, berbangga diri akan amalan kita… “merasa telah berbuat banyak untuk Islam”… “merasa alim karena banyak ilmunya”.. “merasa hebat karena banyak amalannya”… bahkan sampai merendahkan orang-orang yang kita anggap level ilmu atau amalnya “tidak setara” dengan kita..

Kalaulah kita tanya kepada diri kita:

- Siapakah yang memberikan TAUFIQ kepada kita sehingga kita mampu untuk beramal? niscaya kita akan menjawab Allah.

- Siapakah yang memberikan ilmu kepada kita? niscaya kita akan menjawab Allah.

Kita tahu Allah-lah yang memberikan kita taufiq untuk beramal, kita tahu Allah-lah yang memberi kita taufiq untuk menuntut ilmu, kita tahu Allah-lah yang memberikan ilmu kepada kita…

Hanya saja, kita berbangga diri… melupakan itu semua, mengira itu semua karena hasil jerih payah kita sendiri.. karena kepintaran kita sendiri..

Tidakkah kita ingat firmanNya?

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي

Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.

أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.

(Al Qashash: 78)

Maka katakanlah:

لاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ

Laa hawlaa wa laa quwwata illa billaah

ditafsirkan ibnu ‘abbas radhiyallahu ‘anhumaa akan maknanya:

لاَ حَوْلَ بِنَا عَلَى الْعَمَلِ بِالطَّـاعَةِ إلاَّ بِاللهِ، وَلاَ قُوَّةَ لَنَا عَلَى تَرْكِ الْمَعْصِيَةِ إلاَّ بِاللهِ

“Tidak ada kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan bagi kami untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan pertolongan dari Allah (pula).”

Waspadailah Sifat Dengki1

berapa banyak dari kita, yang kita menanggap kita sedang “membela agama Allah”, padahal dilubuk hati kita yang paling dalam yang kita bela adalah “kepentingan kita sendiri”

hanya karena dengki terhadap saudaranya… setiap kali saudaranya ia dapati celah-celah kesalahan yang dapat dieksos didepan khalayak.. maka dieksposlah aib tersebut untuk menjatuhkan saudaranya…

Ia berdalih, YANG KULAKUKAN TAHDZIIR2 YANG KULAKUKAN MENASEHATI KAUM MUSLIMIIN!! YANG KULAKUKAN ADALAH PERBUATAN MULIA UNTUK MELINDUNGI AGAMA INI DARI ORANG-ORANG KHABIITS!!

Benarkah orang yang ia ANGGAP sesat itu… adalah sesat menurut Allah dan RasulNya (menurut pemahaman salafush shalih)? ataukah sesat menurut pendapatnya semata?

Jika saja permasalahan tersebut tidaklah mengharuskan atau bahkan melarang kita untuk mengingkari saudara kita yang menyelisihi kita… maka mengapa sampai kita mengingkarinya? mengapa kita sampai menjelek-jelekkannya? melabelinya label jelek?

Tidakkah ia bertanya kepada dirinya mengapa ia sampai berbuat demikian? bagaimanakah bila ia datang dari kedengkian dalam dirinya?

Bukankah seorang mendengki temannya karena temannya lebih disukai orang daripada dirinya?

Bukankah seorang mendengki temannya karena temannya lebih banyak penghasilannya daripada dirinya?

dan sebagainya?!

Maka bukankah kedengkian itu awalnya karena ada tendensi-tendensi dunia?!

Maka kebencianmu terhadap saudaramu itu… apakah benar-benar “karena Allah” atau justru “karena hawa nafsumu” untuk menjatuhkannya sehingga engkau senang ketika ia sedih?

Bukankah disebut kedengkian apabila seseorang tidak suka atas nikmat Allah terhadap orang lain? ia ingin sekali menghilangkan niat tersebut?

Ketahuilah… sebenarnya engkau membenci nikmat Allah yang ada pada dirinya…

Apakah engkau tidak berilmu bahwa Allah mengkaruniakan nikmatNya kepada siapa Yang Ia kehendaki? Ya, justru engkau berilmu!

Janganlah penyelisihan atau bahkan permusuhan kita terhadap saudara kita, hanyalah berdasarkan kedengkian. inilah sunnah-sunnah ahli kitaab, dimana Allah berfirman:

وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ

Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.

(Al-Baqarah: 213)

Dalam ayat lain:

فَمَا اخْتَلَفُوا إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ

Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka ILMU, karena kedengkian yang ada di antara mereka.

(Al-Jaatsiya: 17)

Bahkan dengan kedengkian itulah orang-orang musyrik yang telah mengetahui kebenaran Muhammad adalah Rasul (utusan) Allah; demikian ahli kitab (yang telah diturunkan kitab yang menjelaskan kebenaran Rasul) menjadi kafir, sebagaimana dalam firmanNya:

بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ أَن يَكْفُرُوا بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَن يُنَزِّلَ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَىٰ غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.

(Al-Baqarah: 90)

Sekiranya mereka MENGETAHUI dengan sebenar-benar PENGETAHUAN.. sekiranya merek MEYAKINI dengan sebenar-benar KEYAKINAN… akan ayat:

وَأَنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ

dan bahwasanya karunia itu adalah di Tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

(Al-Hadid: 29)

Niscaya mereka akan tunduk kepada PEMBERI NIKMAT, mereka tidak akan benci orang yang diberinya nikmat, karena membenci orang yang diberi nikmat secara tidak langsung pun membenci pemberi nikmat tersebut, dan menganggap dirinya lebih berhak mendapatkan nikmat sedangkan yang lain tidak.. sehingga mengkonsekuensikan menganggap pemberi nikmat tersebut tidak adil dalam memberikan nikmatNya. padahal pemberi nikmat MAHA TAHU lagi MAHA BIJAKSANA..

Semoga Allah menghindarkan kita dari KEBODOHAN dan KELALAIAN, yang menyebabkan kita jatuh kepada riyaa’, sum’ah, ujub, takabbur maupun dengki… aamiin

Catatan Kaki

Baca:

- Tidak ada manfaatnya engkau mendengki!
- Nasehat ulama agar menjauhi sifat dengki ↩
Tahdziir adalah jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu menginformasikan keburukan orang lain, dengan maksud menghindarkan orang dari keburukannya tersebut.

Contoh: Ada seorang penipu. Dan ia MEMANG DIKENAL dan TERKENAL sebagai penipu!! Maka kita mengingatkan orang lain darinya. Demikian pun dalam hal agama, seperti orang-orang yang kesesatannya lebih dominan daripada kebenarannya, sehingga bisa-bisa ia menyesatkan orang lain. Maka kita mengingatkan orang-orang akan kesesatannya.

Akan tetapi, simaklah perkataan ulama beriku yang WAJIB untuk kita camkan:

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu di dalam al-Muuqizhoh (hal. 82) mengatakan :

“Membicarakan para perawi memerlukan sifat waro’ yang sempurna dan terlepasnya diri dari hawa nafsu dan kecenderungan (subyektifitas)…”

Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu berkata di dalam al-Iqtiraah (hal. 302) :

“Kehormatan kaum muslimin adalah sebuah jurang dari jurang-jurang neraka. Berdiri di tepi jurang tersebut dua kelompok manusia, yaitu para muhaddits (yang membicarakan para rawi) dan hukkam (penguasa)…”

Imam Ibnu Sholah berkata di dalam Ulumul Hadits (hal. 350-351) :

“Wajib bagi orang yang berkecimpung dalam hal ini (Jarh wa Ta’dil) untuk bertakwa kepada Alloh, bertatsabbut (melakukan cek dan ricek) dan menjauhi sikap tasahul (sikap memudahkan) agar ia tidak melakukan jarh kepada seorang yang sebenarnya selamat (dari hal tersebut) dan tidak menyifati orang yang tidak bersalah dengan sifat yang buruk, kemudian sifat jelek tersebut akhirnya tertempel pada orang tersebut sampai hari kiamat…”

http://abuzuhriy.com/perhatikanlah-hatimu-ketika-engkau-beramal/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar