“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan- akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya) yang minyaknya (saja) hampir- hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis- lapis), Allah membimbing kepada cahaya- Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan- perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Annisa : 35)
Cahaya adalah makhluk Allah yang dibutuhkan oleh kehidupan semua makhluk yang ada di alam semesta ini. Manusia dan semua makhluk hidup tidak akan bertahan hidup tanpa cahaya matahari. Keindahan apapun di dalam kehidupan ini tidak akan terlihat, kecuali setelah tersinari oleh cahaya, dan sebagai manusia, mustahil dapat beraktifitas tanpa cahaya.
Untuk itulah, Allah menekankan pentingnya kalimat cahaya, agar semua petunjuk- petunjuk Allah akan bersinar bagaikan terangnya cahaya yang menerangi ufuk langit dan bumi. Gambaran ayat di atas menerangkan bagaimana cahaya petunjuk Allah menyinari kehidupan manusia, yang menggetarkan segenap perasaan, akal, hati, dan anggota tubuh manusia, agar menyatu dengan seluruh makhluk Allah bersama luapan cahaya Allah.
Dengan cahaya itulah manusia akan dijamin hidup dalam kesucian, terlepas dari beban beratnya kehidupan, mampu tinggal landas manuju kepada kehidupan yang lebih tinggi, yang semuanya dihiasi dengan keindahan ukhuwah, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa.
Ibnu Abbas menjelaskan, “Allah adalah pemberi petunjuk kepada semua makhluk yang ada di langit dan bumi. Allahlah yang mengurus bintang- bintang, matahari, dan bulan.” Ubay bin Ka’ab, “Itulah seorang muknin yang telah Allah jadikan iman dan Al- Qur’an dalam dadanya. Maka, Allah jadikan perumpamaan semisalnya, dengan memulai cahaya diri-Nya, kemudian menyebutkan cahaya orang yang beriman. Maka, maksud ayat di atas, perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang beriman yang telah menjadikan iman dan Al- Qur’an dalam dadanya.”
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Dan begitulah perumpamaan cahaya-Nya. Kata ganti cahaya- Nya di ayat ini bisa dipahami dengan dua pemahaman, Pertama, kembali kepada Allah, yakni cahaya Allah seperti petunjuk Allah di hati orang yang beriman. Kedua, kembali kepada orang yang beriman sesuai konteks pembicaraan. Jadi, pemahamannya ialah perumpamaan cahaya orang yang beriman di dalam hatinya bagaikan Zujajah (kaca, yang jernih berkilau bagiakan bintang). Sedangkan Al-Qur’an dan syariat diumpakan dengan minyak zaitun, yang aslinya sudah berkilau dengan sendirinya tanpa unsur eksternal.
1. Cahaya adalah seseuatu yang paling dibutuhkan oleh manusia
Dan Al- Qur’an itulah sebagai cahaya Allah yang sudah seharusnya menjadi sesuatu yang dibutuhkan manusia, sebagaimana makhluk hidup apa pun akan mati tanpa cahaya. Jadi, manusia pasti akan mati tanpa Al- Quan, sebelum mati secara biologis. Karena tanpa Al- Qur’an akan menciptakan kehidupan yang gelap, menabrak kanan kiri tanpa arah yang jelas.
2. Dengan cahaya Al- Qur’an, semua tantangan hidup akan teratasi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah pribadi yang telah membuktikan peran efektif cahaya Allah ini (Al- Qur’an) dalam mengatasi tantangan kehidupan yang berat, yakni ketika berdakwah di Thaif dilempari batu oleh masyarakat. Saat itu beliau berdoa :
“Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari dengannya semua kegelapan, dan akan menjadi baik di atas sinar itu seluruh urusan dunia dan akhirat.”
Dan saat pulang dari Mi’raj, Rasulullah SAW ditanya oleh Aisyah, “Apakah kamu melihat Rabbmu?” Rasulullah SAW menjawab, “Dia adalah cahaya, bagaimana aku bisa melihatNya.”
3. Ayat di atas merupakan perumpamaan yang aksiomatik bagi manusia
Untuk itulah, Allah jelaskan kepada manusia dengan wahyu- Nya. Namun, Allah Mahatahu manusia manakah yang berhak mendapat cahaya hidayah Allah, dengan yang tidak berhak. Rasulullah SAW memberikan gambaran jenis- jenis manusia yang mendapat hidayah dengan yang tidak,
“Hati manusia itu ada empat jenis: (1) Hati yang bersih bagaikan lampu yang bersinar terang. Inilah hati orang yang beriman yang di balik terangnya terdapat cahaya. (2) Hati yang tertutup terikat kuat oleh penutupnya. Inilah hati orang kafir. (3) Hati yang terbalik yakni hati orang yang munafik yang kondisinya mengetahui kebenaran tapi mengingkarinya. (4) Hati yang terkuak, yaitu hati yang di dalamnya ada sifat iman dan kemunafikan. Dan perumpamaan iman adalah seperti tanaman yang terus tersirami oleh air yang jernih. Sedangkan perumpamaan kemunafikan seperti borok yang terus mengeluarkan darah dan nanah; mana saja dari dua materi itu lebih dominan, maka akan mengalahkan yang tidak dominan.” (HR. Ahmad dengan isnad yang bagus)
(Dikutip dari buku 64 Bekal Hidup Wanita Muslimah, karya Abdul Azis Abdur Ra’uf, halaman 187-195, 2009, Markaz Al- Quran, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar