Seorang hamba bertemu Allah swt di dua tempat pemberhentian. Yaitu berjumpa dengan-Nya di kala shalat. Dan kedua saat hamba menghadap Allah pada hari kiamat.
Siapa yang menunaikan hak-Nya di pertemuan pertama, maka ia telah membuka jalan kemudahan untuk pertemuan kedua.
Dan siapa yang meremehkan pertemuan pertama, maka ia telah menciptakan kesulitan bagi dirinya sendiri pada perjumpaan kedua.
Allah berfirman, “Dan pada sebagian malam, sujud dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, padahal itu merupakan hari yang berat.” Al Insan: 27-27.
(Al Fawaid, Ibnul Qayyim rahimahullah).
Saudaraku…
Shalat sejatinya merupakan moment special bagi seorang hamba. Karena pada saat itu ia sedang menghadap Dzat yang menjadi penguasa alam semesta ini.
Apa yang biasa dilakukan oleh seseorang ketika ia hendak menemui orang yang ia hormati, cintai dan senantiasa dirindukannya. Memiliki jabatan strategis. Punya tempat yang istimewa di hati masyarakat. Jangkauan kekuasaannya luas. Kekayaannya berlimpah. Sementara ia berharap sesuatu dari perjumpaan dengannya?.
Tentu, ia menyiapkan segala sesuatu dengan semaksimal mungkin. Membersihkan tubuh, mengenakan pakaian yang dipandang paling indah. Memilih minyak wangi yang paling semerbak dan seterusnya. Agar pertemuan dengannya berkesan dan menghasilkan apa yang diharapkannya.
Tapi mengapa, pada saat kita menghadap Allah swt lewat shalat, kesan itu seolah-olah sirna, hilang entah kemana. Tampilan luar juga diabaikan. Bukankah Dia merupakan Raja diraja? Bukankah Dia Penguasa alam semesta? Bukankah Dia adalah kekasih sejati kita? Barangkali karena kita tidak menghormati dan mensucikan-Nya serta menghargai pertemuan dengan-Nya. Sehingga saat menghadap-Nya, kita justru mengenakan pakaian yang lusuh, bau badan menyengat hidung. Tiada konsentrasi. Hati mengembara entah kemana. Dan kita pun tak tahu apa yang kita ucapkan ketika itu. Kita tak sadar bahwa kita sedang memohon sesuatu kepada-Nya. Kita tak memperhatikan kwalitas shalat kita. Tiada ruh dalam pelaksanaannya.
Shalat yang kita lakukan tak lebih dari sekadar runtinitas harian dan sebatas gerakan tubuh dari ruku’, sujud dan seterusnya. Jauh dari kata khusyu’ dan tuma’ninah. Amaliyah zahir, tanpa penghayatan batin. Beban dan persoalan hidup yang mendera jiwa kita seperti; hutang, tagihan kontrakan, kemelut keluarga, permasalahan di tempat kerja dan lain sebagainya terkadang muncul dan terbayang di benak. Padahal di luar shalat, hal yang demikian itu dapat kita lupakan.
Semestinya kita sadar bahwa shalat merupakan symbol dari amal-amal shalih kita. Baik tidaknya shalat yang kita lakukan akan sangat berpengaruh pada amal-amal kita lainnya.
Saudaraku..
Allah swt berfirman, “Hari ketika manusia menghadap Tuhan semesta alam.” Al Muthaffifin; 6.
Setiap kali ayat di atas dibaca atau didengarnya, Abdullah bin Umar ra tak mampu membendung kedua air matanya meleleh. Karena ia mampu menghadirkan gambaran sulit dan mencekam saat berdiri menghadap Allah, Rabb semesta alam.
Saat itu manusia dikumpulkan di padang Mahsyar dalam keadaan yang sangat mengerikan. Mereka berdiri menghadap Allah swt tanpa beralas kaki, telanjang bulat tanpa sehelai kainpun yang melekat di tubuh dan dalam keadaan belum dikhitan.
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah berarti laki-laki dan perempuan dapat melihat aurat satu sama lainnya?.” Beliau bersabda, “Duhai Aisyah, urusan pada hari itu lebih dahsyat dari sekadar melihat aurat lawan jenis.”
Di dunia pun, jika musibah besar melanda, seperti; tsunami, gempa bumi, angin putting beliung, tanah longsor dan yang senada dengan itu. Manusia sibuk menyelamatkan diri dan tak menghiraukan apa yang terjadi di alam sekitarnya. Bahkan mereka lupa dengan keadaan diri mereka. Yang terpenting adalah cari jalan selamat dari bencana. Jika itu yang diperbuat oleh manusia menghadapi bencana kecil di dunia, bagaimana dengan bencana besar di akherat kelak?
Terlebih dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa matahari akan didekatkan sejarak satu atau dua mil.
Jarak antara bumi dan matahari berdasarkan teori ilmu Fisika yang kita pelajari dulu adalah 93.026.724 mil atau 149.680.000 km.
Itu artinya di padang Mahsyar jarak matahari dengan kepala manusia hanya sekitar 1,6 km. Subhanallah, tak terbayangkan seperti apa panasnya matahari ketika itu. Padahal mereka menunggu giliran dihisab oleh-Nya, bukan semenit atau dua menit. Tapi dalam waktu yang sangat lama.
Abu Hurairah ra pernah meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Basyir Al Ghifari, “Apa yang akan kamu perbuat saat manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam di sana (padang Mahsyar) selama tiga ratus tahun dari hari-hari di dunia. Tiada berita apapun yang didengar dari langit dan tiada perintah apapun yang diterima.” Basyir berkata, “Allahul Musta’an” dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya. Nabi saw bersabda, “Untuk itu (wahai Basyir), jika kamu hendak membaringkan tubuhmu di atas tempat tidur, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kepayahan hari kiamat dan keburukan hisab.”
Bisa dibayangkan saudaraku…
Di musim panas, dengan jarak matahari yang demikian jauh, bila kita berada di sebuah padang atau alam bebas tanpa ada pepohonan yang melindungi kita dari sengatan matahari. Atau tiada atap yang memayungi kita dan seterusnya. Maka kita rasakan waktu sedetik ibarat satu tahun. Karena keringat membasahi tubuh kita. Kegerahan menyapa, ketidak nyamanan melanda. Dan emosi memenuhi relung hati. Lalu bagaimana dengan waktu 300 tahun di padang Mahsyar menunggu nasib kita yang belum jelas kesudahannya.
Dari keterangan Rasul junjungan, kita dapat menarik kesimpulan bahwa saat matahari didekatkan sejarak satu mil, maka kadar keringat mereka berbanding lurus dengan amal-amal shalih yang telah diperbuat atau dosa dan kesalahan yang mereka ukir di dunia. Di antara mereka ada yang keringatnya mencapai dua mata kakinya. Ada yang sampai kedua betisnya. sampai lutut, pinggang, pundak, telinga, mulut dan bahkan ada yang tenggelam dalam keringatnya.
Saudaraku…
Jika kita ingin dimudahkan urusan kita di akherat sana, saat kita berdiri menghadap-Nya di padang Mahsyar yang sarat dengan kesusahan, kesulitan, penderitaan dan kepiluan itu, mari kita perbagus dan perindah pertemuan kita dengan-Nya di dunia sewaktu shalat.
Sebelum jauh-jauh kita membicarakan amal-amal shalih yang lain, mari kita mulai dari shalat kita. Karena ia adalah penentu. Karena ia adalah parameter. Karena ia adalah ukuran. Tentang jatidiri kita di hadapan-Nya. Dan bagaimana masa depan kita di sana.
Orang yang tulus mencintai seseorang, tentu ia selalu ingin berdekatan dan berjumpa dengannya serta merindukannya.
Maka jika kita tulus mencintai-Nya, maka kita tidak cukup bertemu dan berdua-duan dengan-Nya lima waktu dalam sehari semalam. Tentu kita ingin lebih banyak bertemu dan berkhalwah dengan-Nya. Maka shalat-shalat sunnah, terlebih shalat malam semestinya tidak pernah terlewat dari kehidupan kita. Semoga demikian adanya.
Ya Rabb, hadirkan kekhusyuan dalam ibadah shalat yang kami lakukan dan mudahkanlah urusan kami di akherat sana. Aamiin.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar